Monday

Qur'an Mushaf Acheh berusia ratusan tahun



DUA naskhah al-Quran Mushaf Acheh yang berusia beratus tahun turut dipamerkan di Pameran Pedang Nabi Muhammad SAW, Khazanah Tamadun Islam dan Koleksi Sejarah Seni Silat Pusaka Gayong di Dewan Sri Zaleha, Naza, Gurun, Kedah.


GURUN 12 Dis. - Menurut catatan sejarah, Nabi Muhammad SAW mempunyai beberapa peralatan perang sendiri, antaranya pedang Al-Ma‘tsur yang merupakan pedang diwarisi daripada ayahanda baginda, Abdullah Abdul Mutalib.
Pedang itu kini tersimpan di Muzium Topkapi, Istanbul, Turki dan bagi umat Islam, peluang untuk melihat pedang itu di depan mata adalah satu perkara yang amat indah dalam kehidupan sebagai seorang muslim.
Namun, malangnya tidak semua umat Islam berpeluang untuk menjejakkan kaki ke muzium itu bagi melihat sendiri pedang yang pernah digunakan oleh Rasulullah itu.
Bagi memenuhi impian umat Islam negara ini, khususnya di kawasan utara tanah air yang ingin melihat pedang-pedang Rasulullah, satu pameran bertajuk Pameran Pedang Nabi Muhammad SAW, Khazanah Tamadun Islam dan Koleksi Sejarah Seni Silat Pusaka Gayong diadakan di Dewan Sri Zaleha, Naza, Gurun di sini bermula 5 Disember dan berakhir 19 Disember ini.
Dengan harga RM10 bagi dewasa dan RM5 bagi kanak-kanak, pengunjung dapat melihat pedang al-Ma’tsur, pedang al-Qadib, pedang al-Battar, pedang Ja’far Ath-Thayyar,pedang Abu Bakar As-Siddiq, pedang Saidina Umar al-Khattab, pedang Uthman Affan, pedang Zul Fiqar, pedang al-Hatf, pedang Khalid Wali dan pelbagai peralatan perang yang lain.
Walaupun hanya replika pedang, 99 peratus bentuk pedang-pedang yang dibawakan khas dari Muzium Topkapi, Istanbul adalah sama dengan bentuk pedang sebenar.
Pengerusi pameran itu, Datuk Mohd. Suhaimi Abdullah berkata, pameran yang julung kali diadakan itu adalah hasil usahasama Yayasan Restu dan Pertubuhan Seni Silat Pusaka Gayong Malaysia (PSSGM).
“Pameran ini amat bermakna, lebih-lebih lagi kepada seluruh penduduk kampung di negeri kawasan utara untuk mempelajari dan menyelami sejarah-sejarah ketamadunan Islam.
“Kita juga mengenengahkan keindahan dan kehalusan seni-seni Islam serta ada-adat Melayu yang ternyata memiliki keistimewaan serta identiti yang tersendiri supaya tidak luput ditelan zaman,” ujar beliau.
Selain himpunan pedang Nabi Muhamaad SAW dan para sahabat baginda, pengunjung juga dapat melihat pelbagai Mushaf al-Quran yang telah diterbitkan dalam bentuk buku dan multimedia dipamerkan pada pameran tersebut.
Azaliza Mohammad Zainal Abidin selaku Ketua Jabatan Perwarnaan Restu Design berkata, pada pameran kali ini, Yayasan Restu membawa koleksi al-Quran Mushaf Acheh yang berusia ratusan tahun untuk dipamerkan kepada pengunjung.
“Al-Quran Mushaf Acheh ini dihadiahkan kepada Yayasan Restu sebelum berlaku kejadian tsunami dan selain al-Quran Mushaf Acheh ini pengunjung juga boleh melihat pelbagai Mushaf al-Quran yang lain seperti al-Quran Mushaf Kedah, al-Quran Mushaf Singapura, al-Quran Mushaf Nigeria dan sebagainya.
“Pihak kami juga membawa penulis khat di pameran ini bagi menunjukkan bagaimana proses penghasilan al-Quran kepada pengunjung,” katanya.
Tambahnya, pada pameran ini juga pelbagai karya kaligrafi juga dipamerkan kepada pengunjung bagi memastikan mereka melihat sendiri keindahan seni halus dalam Islam.
“Terdapat karya kaligrafi yang menggunakan kertas daripada al-Quran lama kerana kita tidak mahu buang kertas al-Quran itu di merata-rata tempat dan ada juga karya kaligrafi yang menggunakan warna daripada alam semulajadi,” jelasnya.
Sementara itu seorang pengunjung pameran itu, Saadan Mat, 50 berkata, kunjungannya ke pameran tersebut menimbulkan rasa kagum dengan kehebatan Nabi Muhamad SAW dan para sahabat baginda.
“Melihat pedang sahaja dapat membuatkan kita rasa kagum serta terharu dan saya rasa pameran sebegini perlu diadakan di tempat-tempat lain.
“Selain melihat pedang kita juga dapat melihat pelbagai Mushaf al-Quran untuk menambah ilmu mengenai al-Quran,” katanya.
Seorang lagi pengunjung, Mohd. Amir Azuddin Azman, 13 berkata, dia yang tinggal di Parit Buntar, Perak datang ke pameran ini bersama keluarganya bagi melihat kehebatan pedang Nabi Muhammad SAW.
“Saya puas hati apabila dapat melihat pedang tersebut walaupun hanya replika sahaja dan ini adalah pameran yang perlu sentiasa diadakan untuk menimbulkan keinsafan di kalangan untuk umat Islam,” jelasnya.

Friday

Christiaan Snouck Hurgronje: History Of Orientalist Manipulation Of Islam – Analysis

Christiaan Snouck Hurgronje: History Of Orientalist Manipulation Of Islam – Analysis

Written by: September 14, 2011
Christiaan Snouck Hurgronje
Christiaan Snouck Hurgronje
By Andreas De Vries

“According to Snouck the fundamental problem with Islam was the fact that Muslims believed in the need for Unity of State, with a Khalifah governing over all of them according to Sharia law. In a letter to Goldziher in 1886, one year after his journey to Mecca, Snouck said: “… I never had any objections to the religious elements of this institute [Islam]. Only its political influence is, in my opinion, deplorable. And as a Dutchmen especially I feel a strong need to warn against this.”

Although dead for over half a century, Christiaan Snouck Hurgronje remains a highly controversial figure in both the western and the Muslim world.

Saturday

Bangsa Aceh di Paraguay, Amerika Selatan



Kegemaran 'bangsa' Aceh 'menaklukkan' dunia sepertinya bukan isapan jempol belaka. Di Paraguay, misalnya, anda bisa melihat langsung suku Aceh ini beranak pinak di benua Amerika Latin itu.
Tentu saja fakta ini mengejutkan. Soalnya, selama ini tidak ada informasi tentang adanya komunitas 'bangsa' Aceh, tinggal dan menetap berjarak ribuan mil dari tanoh Aceh.

Monday

Tun Sri Lanang: Permata Melayu di Negeri Aceh


KEBESARAN Kesultanan Islam Melaka hancur setelah Portugis menaklukinya tahun 1511 M. Banyak pembesar pembesar kerajaan yang menyelamatkan diri ke kerajaan lainnya yang belum dijamah oleh Portugis, seperti Pahang, Johor, Pidie, Aru (Pulau Kampai), Perlak, Daya, Pattani Pasai dan Aceh. Portugispun berusaha menakluki negeri Islam yang kecil kecil ini dan tanpa perlawanan yang berarti. Perkembangan ini sangat menggundahkan Sultan Alaidin Mughayatsyah (1514-1530 M). 

Inilah Kondisi 16 Keturunan Putera Mahkota Aceh

Sultan Muhammad Daud Syah

RAJA Aceh terakhir, Sultan ‘Alaidin Muhammad Daud Syah, tahun 1904 dibuang Belanda ke Jakarta.Raja terakhir ini punya seorang anak sulung, calon Putera Mahkota Kerajaan Aceh Raya, Tuanku Raja Ibrahim. Salah satu anggota kerajaan yang masih hidup dan berdomisili di Banda Aceh adalah Tuanku Raja Yusuf dan pernah diundang khusus oleh Mahathir Muhammad (Mantan Perdana Menteri Malaysia).\

Putroe Neng, "Legenda Puteri Bersuami 100"

Ancient Chinese Beauty, photo by: Suaveli

Menikahi Putroe Neng yang cantik jelita merupakan sebuah kebanggaan bagi banyak lelaki bangsawan. Kebanggaan itu sering dilampiaskan dalam kalimat, “Nanti malam aku akan tidur dengan Putroe Neng...”. Namun, hampir tidak ada lelaki yang berhasil mengatakan, “Tadi malam aku tidur dengan Putroe Neng...!”. Malam pertama selalu menjadi malam terakhir bagi 99 lelaki yang menjadi suami Putroe Neng.

Saturday

Abu Budi Lamno



Bila kita melakukan perjalanan dari Banda Aceh kearah Meulaboh, setelah melewati puncak tertinggi di daerah tersebut yaitu puncak gunung Geurute maka kita akan memasuki sebuah kota yang terkenal dengan kota Lamno atau Peukan Lamno. Di daerah Lamno inilah dulu pernah berdiri kerajaan Daya yang pernah mengalahkan pasukan Portugis dan mengislamkan mereka serta mendirikan perkampungan etnis Portugis, sehingga daerah ini juga dikenal dengan perkampungan Si Mata Biru. Diatas puncak bukit di daerah Kuala Daya terdapat perkuburan raja – raja Daya yang terkenal dengan Almarhum Daya atau dalam bahasa Aceh biasa disebut dengan Meureuhom Daya, karena itulah daerah ini dikenal juga dengan negeri Meureuhom Daya.

Abu Kruet Lintang


Silsilah
Teungku Haji Muhammad Yusuf lebih dikenal dengan nama panggilan Abu Kruet Lintang. Ia merupakan anak keempat dari Teungku Ibrahim bin Teungku Mahmud bin Teungku Amin Silang bin Teungku Rampah Tarung bin Teungku Shalahuddin. Teungku Shalahuddin lebih dikenal dengan nama panggilan Teungku Chik Keurukon yang konon berasal dari Yaman.

Teungku Syiah Kuala

Teungku Syiah Kuala

Syekh Abdurrauf Singkil (Singkil, Aceh 1024 H/1615 M - Kuala Aceh, Aceh 1105 H/1693 M) adalah seorang ulama besar Aceh yang terkenal. Ia memiliki pengaruh yang besar dalam penyebaran agama Islam di Sumatera dan Nusantara pada umumnya. Sebutan gelarnya yang juga terkenal ialah Teungku Syiah Kuala (bahasa Aceh, artinya Syekh Ulama di Kuala).

Masa muda
Nama lengkapnya ialah Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri As-Singkili. Menurut riwayat masyarakat, keluarganya berasal dari Persia atau Arabia, yang datang dan menetap di Singkil, Aceh, pada akhir abad ke-13. Pada masa mudanya, ia mula-mula belajar pada ayahnya sendiri. Ia kemudian juga belajar pada ulama-ulama di Fansur dan Banda Aceh. Selanjutnya, ia pergi menunaikan ibadah haji, dan dalam proses pelawatannya ia belajar pada berbagai ulama di Timur Tengah untuk mendalami agama Islam.